Menuju Pendidikan yang Merdeka: Mengajarlah!

Wednesday, 8 June 2016

Education should be available, accessible, acceptable, adaptable to everyone.
–– Katarina TomaÅ¡evski, United Nations CESCR General Comment 13, 1999


Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling dasar. Setiap orang memiliki hak atas pendidikan yang baik dan layak, tanpa terkecuali. Tertulis jelas dalam Undang - Undang Dasar  1945 Pasal 31 Ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Tanpa generasi yang terdidik, Indonesia tidak akan pernah terlahir. Maka cukup aneh jika hingga hari ini, potret pendidikan negeri kita masih juga terkungkung berbagai masalah dasar, serta diperlakukan seolah prioritasnya rendah. 

Pada hakikatnya, pendidikan yang kita butuhkan adalah pendidikan yang merdeka. Merdeka dari kapitalisasi, karena seharusnya tidak ada orang yang tidak teredukasi semata karena faktor ekonomi. Merdeka dari keterbatasan geografis, karena sudah sepantasnya seorang anak yang tinggal di Maluku mendapatkan akses yang sama dengan anak yang tinggal di Jawa. Anak-anak tidak pernah memilih dimana mereka lahir, dan pada setiap diri kita terdapat kewajiban untuk memfasilitasi proses pembelajaran mereka. Merdeka dari elitisme. Merdeka dari ketidakjujuran. Merdeka dari ketidakadilan. Semua ini terangkum dalam empat poin yang terumuskan dalam kutipan diatas: (1) ketersediaan (availability) (2) kemudahan akses (accessibility), (3) kepantasan (acceptability), dan (4) adaptabilitas (adaptability).

Sayangnya, kenyataan, seperti biasa, jatuh agak jauh dari ekspektasi. Pada prakteknya, banyak daerah di Indonesia belum dapat menyediakan pendidikan bagi warga. Bisa dibilang, negara gagal memenuhi poin pertama gagasan yang terkutip diatas. Lebih banyak lagi yang gugur di poin kedua: Di banyak tempat, edukasi hanya tersedia untuk sebagian orang. Jika poin ketiga ikut kita perhitungkan, maka jelas angka pendidikan yang dapat kita sebut layak akan turun drastis. Jangankan di pelosok desa terpencil, di kota-kota besar pun banyak institusi pendidikan tidak mampu menyediakan pendidikan yang kualitasnya pantas. Terakhir, sistem pendidikan negara kita yang rigid, kaku, tidak membantu poin keempat sama sekali. All and all, perjalanan kita mewujudkan sistem pendidikan yang ideal tampaknya masih panjang.

Tapi ada yang unik disini. Meski hasil secara keseluruhan sistem dan hasil pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah – jika tidak minus – jumlah orang terdidik di Indonesia tidaklah sedikit. Organization for Economic Co-operation Development (OECD) memproyeksikan jumlah sarjana di Indonesia dapat mencapai empat persen dari seluruh jumlah sarjana negara-negara G-20 pada tahun 2020. Mungkin ini berkah dari jumlah penduduk yang banyak, sehingga tampaknya secara kuantitatif jumlah orang pintar di Indonesia tidaklah kurang dari Singapura. Artinya, masalah utama yang dihadapi pendidikan Indonesia saat ini adalah masalah pemerataan. Disini, terjadi sebuah ketimpangan akademik: sejumlah besar insan terdidik, dan sejumlah besar orang yang belum terdidik, hadir ibarat gunung dan jurang yang berdampingan. Data ini seolah mengatakan bahwa sikap kita adalah every man for himself: “Saya pintar, Anda tidak dan itu bukan urusan saya.” Agak meleset memang dari asas kekeluargaan dan gotong royong yang kita banggakan. Siapa yang salah? Mungkin kita perlu mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Apakah kita seapatis ini?

Di atas, saat saya menyebut “.. Bisa dibilang, negara gagal memenuhi ..”, yang saya maksudkan bukanlah (hanya) pemerintah. Toh, kita juga adalah bagian dari negara. Setiap orang memiliki kewajiban untuk membantu mengatasi masalah pendidikan. Sungguh, bersama setiap kepingan ilmu datang satu kepingan tanggung jawab untuk meneruskannya. Karena itu, berbagilah! Ajarkanlah ilmu yang dimiliki. Seandainya setiap dari kita bisa berbagi ilmu secara berkala kepada orang lain, maka kualitas sumber daya manusia kita pun – dengan seizin Allah – akan meroket. 

Penekanan untuk berbagi ilmu ini berlaku untuk semua orang. Tentunya generasi muda, terutama mahasiswa, adalah pihak yang kontribusinya paling dinanti. Mahasiswa sebaiknya tidak enggan untuk berbagi ilmu. Perlu dipahami bahwa untuk bisa mengajar, tidak perlu mampu berjalan diatas air. Tidak perlu kesaktian, tidak perlu kesempurnaan mastery. Yang perlu dibagi tidaklah lebih dari apa yang dimiliki. Mengajarlah!

Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Kita hanya kurang berbagi.


Bandung, 8 Juni 2016
Akhyar I. Kamili

Tutorial: Inspiring Change.

Tuesday, 9 February 2016



Step 1: Realize that everybody wants change.

Kawan, harus diakui bahwa kita suka perubahan. Kita ingin perubahan. Apalagi di Indonesia, negeri bobrok tercinta, kita butuh perubahan. Kita ingin merubah kemampuan pemerintah, kekuatan ekonomi negara, agama masyarakat, pendidikan bangsa dan berjuta hal lainnya. Demi menyaksikan perubahan itu, kita rela jika disuruh menunggu satu atau dua dasawarsa lamanya. Kita sering berandai-andai, “Ah, semoga saja aku masih hidup ketika negeri ini menjadi negara maju.”

Step 2: Realize that change will happen.

Kawan, percayalah kalau perubahan yang kita harapkan pasti akan terjadi. Pada saatnya, Indonesia pasti akan maju. Rakyat kita akan sejahtera. Kita akan lepas dari gelar D3 - Dunia Ketiga. Sudah menjadi aturan Tuhan kalau yang diatas akan jatuh dan yang dibawah akan merangkak naik. Sejarah adalah sesuatu yang sudah ditentukan! Sejarah hanya mencatat jawaban atas dua pertanyaan: Siapa, dan kapan?

Step 3: Answer the question asked in Step 2.

Kawan, mungkin engkau ingin bertanya, siapa gerangan yang akan memperbaiki negeri ini? Oh! Pada masa kegelapan ini, tentulah dibutuhkan seorang jenius brilian nan suci titisan Tuhan untuk merubah nasib. Bukankah begitu? Setidaknya, inilah yang ada di pikiran jutaan insan yang dibesarkan oleh dongeng-omong-kosong tentang seorang puteri cantik penuh derita yang diselamatkan oleh pangeran gagah nan ksatria. Bah! Dunia nyata tidak memiliki fitur ini bung! Masa depan ada di tangan siapapun yang berniat untuk membuat perubahan. Putera seorang juragan nan kaya belum tentu namanya akan terukir di sejarah. Sebaliknya, puteri seorang pemulung nan miskin pun bisa mengukir namanya dalam sejarah. Kapan? Saat dia pertama memutuskan untuk membuat perubahan kecil disekitarnya.
Kawan, engkau harus tahu bahwa kelahiranmu di masa gelap ini adalah sebuah keberuntungan. Ibarat setoples meses yang tumpah berserakan, ladang amal manis itu bertaburan, siap untuk diambil. Huh, rakyat ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah bolehlah kaya, tapi untuk sekedar bersedekah mereka harus berjalan jauh ke negeri sebelah. Sementara kita cukup menoleh ke tetangga sebelah, dan disana telah terhampar berlian-berlian surgawi. Dan itulah kenapa engkau dilahirkan di masa ini. Untuk diberi kesempatan melahirkan perubahan. Semua orang diberi kesempatan yang sama. Kebanyakan akan berpaling, dan menunggu keajaiban. Sebagian lainnya akan mengambil kesempatan itu, mengambil posisi ‘siapa’, dan menentukan ‘kapan’.
If you desire it, then the answer is you. When? When you start the change of course!

Step 4: Start the change.

Alright, that's enough sweet talk. Ini bagian action. Gaya bicaranya tidak akan lagi cantik. Huahaha.
((Padahal capek nulis dengan gaya formal))
Gimana sih caranya membuat perubahan di sekitar kita?
=================================
> open brain
> brain\ start POSITIVE_CHANGE.EXE
> POSITIVE CHANGE STARTED
..
=================================

 

Sub-step 4.1: Identify!

Ini langkah yang paling obvious, tapi masih pantas untuk disebut. Coba lo melihat ke sekeliling lo, ada berjuta masalah, bukan? Jangan serakah. Pilih satu atau dua. Formulasikan, masalahnya apa?
Untuk memperjelas, mari kita hadirkan seorang calon pembuat perubahan. Perkenalkan, Udin. Konon dia masih sepupuan sama ayahnya Thor, Odin.
=================================
> PLEASE IDENTIFY YOUR PROBLEM:
> _
=================================
Udin: Gila bro, anak-anak di komplek kita dari SMP udah pada pacaran dan merokok. Mau jadi apa nanti kalau sudah besar mereka? Ckckck. Kasian banget. Seolah-olah hidup mereka ditakdirkan hancur karena nggak paham cara menghabiskan masa remaja.
=================================
> PROBLEM SUCCESSFULLY IDENTIFIED
.. DO YOU WANT TO SEARCH FOR A SOLUTION? (Y/N)
> Y
> PLEASE DEFINE THE IDEAL STATE
> _
=================================
Imaginary voice: Iya bro. Memang idealnya tuh mereka gimana sih?
Udin: Well, sepantasnya anak usia mereka tuh udah ada kerjaan, udah ada passion dalam sesuatu, biar bisa berprestasi. Mereka harusnya gaul sama anak-anak yang baik, supaya tertular jadi baik. Bukannya merokok dan pacaran tanpa kegiatan yang jelas.
=================================
> IDEAL STATE SUCCESSFULLY DEFINED
.. DO YOU WANT TO TAKE ACTION ? (Y/N)
> Y_
=================================

Sub-step 4.2: Formulate the solution.

Step pre-requisite:
Paper – A few sheets.
A pencil – One or two.
No prior experience is needed.
Mulailah nulis, corat coret. Problem, solutions – yes, with “s” in the end. Tulis lebih dari satu kemungkinan penyelesaian masalah. Brainstorm! Gunakan impuls listrik di balik jidat lo untuk sesuatu yang berguna – sekali-kali lah bro.
Udin: Okelah. Sepertinya anak-anak ini butuh wadah buat bergaul. Mereka perlu dikasih bimbingan untuk menemukan tujuan dalam hidup. Untuk ini, sanggar kreatif gratis sepertinya cocok. Bisa kita ajarin musik, gambar, dan penyaluran energi positif lainnya. Ntar tinggal gue cari siapa yang mau ngajarinnya. Habis itu kita  ajak main sama anak-anak yang emang sudah berprestasi. Kalau mereka sudah merasa nyaman, baru kita kasih penyuluhan soal rokok dan pacaran.
Imaginary Voice: Leh ugha. Mind you, don’t expect this to be too easy.

Sub-step 4.3: Find some people, and FLY!

Now this step is exceptionally important. Both of organisations I co-founded, ICARUS Learning Club (ILC) and Solidaritas Remaja Untuk Palestina (SIRUP) came to life in this manner.
Seperti yang sudah disebutkan di paragraf pertama, kita ­suka perubahan. Banyak orang yang hanya membutuhkan sedikit api pemantik untuk melakukan aksi perubahan. Jadilah sang api, kai!
=================================
> TO CONTINUE, PLEASE INSERT NAKAMAS ..
.. _
=================================
Imaginary voice: BTW woles aja Din, bukan lo doang kok yang muak sama nasib generasi penerus bangsa ini. Tuh, si Dul tetangga kita kelihatannya orangnya baik, dia juga pasti pengen menyelesaikan masalah ini.
Udin: Bener juga lo. Tinggal gue pancing aja tentang masalah ini, terus gue propose solusi gue ke dia. Siapa tahu dia tertarik. Trus,  masih ada juga tuh anak-anak remaja masjid. Mungkin mereka bisa bantu dengan sesuatu.
Imaginary voice: Ntaps. Let’s go!
Berdiskusilah dengan orang lain. Presentasikan masalah yang ada dan solusi yang udah lo rancang. Terima masukkan, minta mereka untuk bersama menanggapi serius masalah ini. Penting: Perhatikan bahwa Udin serius ingin melakukan hal ini. Lebih dari sekedar mengeluh.
-------------------------------------------------------
Study Case: Akhyar’s talk, unexpected turn of events, and the birth of SIRUP.
Disclaimer: This is just what I remembered.

Juli 2014. Serangan udara Israel terhadap Gaza sudah memasuki tahap mengkhawatirkan – yang ternyata hanya sekedar awal dari perang 51 hari yang berlangsung kemudian. Melihat berita dan mengikuti Al Jazeera, aku hanya bisa menggelengkan kepala. Banyak yang nge-share berita-berita di Facebook. Tapi, entah mengapa, sepertinya hal sepenting ini nggak mendapatkan perhatian dari anak-anak sebayaku. Muak, bosan, dan iseng, aku mengirim pesan singkat pada sahabatku Fia, penulis komik Para Pencari Syahid tentang perjuangan anak-anak Palestina, dan mengemukakan pendapatku. It goes something like, “Fi, yuk kita ajak anak-anak lain untuk ngumpul”. Fia setuju. Tak kusangka, beberapa hari kemudian, Fia bilang bahwa dia sudah berhasil menghasut teman-temannya untuk ikutan. Aku langsung caw ke SMKN 14, terus ketemu anak-anak dan ngobrolin tentang apa yang bisa kita lakukan. Kita bisa buat poster, atau galang dana, atau apapun. Setelah itu, aku berhasil juga mengajak anak-anak GK dan SMKN 2 untuk ikut.

Rabu, 16 Juli 2014. Salah satu anak yang mau ikut bantu bilang, “Gimana kalau kita buat penggalangan dana di sekolah?”. Aku langsung setuju. Well, kita cuma nyiapin kardus. Aku pinjam properti bekas aksi GK sebelumnya buat di SMKN 2. Sedikit menghabiskan waktu menelepon sana-sini.

Jum’at, 18 Juli 2014. Caw aksi! Aku ke SMKN 14, sementara Burhan, anak GK, mengkoordinasi aksi di SMKN 2. Sepagian itu kami keliling kelas. Masuk, kemudian bilang satu-dua patah kata soal palestina. Dan hasilnya, wow. Dari SMKN 14 kami dapat hampir dua juta setengah. Dari SMKN 2 ternyata lebih banyak, 2.7 juta kalau tidak salah. Dan, benarlah bahwa kebaikan nggak suka datang sendirian. Siangnya, aku diundang oleh kepala sekolah SAB untuk menjelaskan soal Palestina ke anak-anak SMP mantan adik kelasku. Dari anak-anak yang kurang dari 15 orang, terkumpul lebih dari enam ratus ribu rupiah. Kebetulan, hari itu memang hari terakhir sekolah. Ada acara perpisahan sorenya. Sekali lagi, aku bercerita soal Palestina kepada orang-orang tua yang hadir. Dapat lagi tiga juta.

Sabtu, 19 Juli 2014. SIRUP terbentuk! Kami menyalurkan dana yang kami kumpulkan ke KNRP.

Aku sangat bersyukur, ini semua terbentuk dari text isengku ke Fia.
-------------------------------------------------------

Setelah berkumpul..

=================================
> NAKAMAS INSERTED. LEAD THEM AND CONTINUE? (Y/N)
> Y
> STARTING ACT…
=================================
Udin: Wokeh! Ada masukkan dan ide-ide berharga dari yang lain. Mari kita jalankan!
Imaginary voice: Yep. Semuanya sudah siap. Besok, kamu dan Dul tinggal mendatangi anak-anak itu, kita ajak mereka buat main bareng.
Bottom line: Talk about it to others. It’ll work out.

Alternative of Step 4: Be a part of the change.

Lo itu manusia dewasa. Perbuatan baik dan buruk lo, dicatet dan dihitung. Kesempatan yang lo buang, dicatet dan dihitung.
Jan malas. Sibuk? Kalau lo cuma sibuk buat diri lo sendiri, rugi. Emang sih, lo cuma punya waktu 24 jam sehari. Tapi begitu juga dengan gue. Wait, siapa gue. Ambil sono mbah Bill Gates, dia juga cuma punya 24 jam. Bisa jadi orang terkaya di dunia dan buat yayasan dengan sumbangan jutaan dolar. Mam tuh 24 jam! Waktu itu nggak pernah terlalu sedikit. Bagiamana lo memanfaatkan waktu itu yang ngaruh.
If someone already started it, don’t hesitate to join! Kalau lo diminta, berarti Tuhan memilih lo jadi bagian dari perubahan. Kalau lo nggak diminta ikut tapi tau lo bisa ikut, berarti itu cara Tuhan ngetes kesadaran lo. Jadilah bagian dari perubahan. Buat kontribusi terhadap orang lain, sekecil apapun itu. Ikut memberikan ide, dan eksekusi ide-ide yang kalian kumpulkan bersama.

Step 5: ???

=================================
> SOLVING PROBLEM…
.. PROCESSING 5%
.. PROCESSING 95%
.. SUCCESSFUL
.. CONGRATULATIONS, YOUR PROGRAM IS NOW LIVE @ R.E.A.L_L.I.F.E
.. PRESS ANY KEY TO CONTINUE

> _
=================================
Lakukan yang harus lo lakukan.
               

Step 6: Profit.

Yep. Profit. Profit dari pengalaman tak ternilai yang kamu dapatkan. Profit dari amal kebaikan yang disaksikan Tuhan.

Begitulah, kisah si Udin.
Udin membuat perubahan.
Udin keren.
Jadilah seperti Udin.
=================================
> GOAL ACHIEVED
.. PASS THE SPIRIT ON TO OTHERS? (Y/N)
> Y
> SHARING …
=================================

Step 7: Repeat.

Kembalilah ke Step 4. Teruslah buat perubahan. Kembangkan yang ada, dan buat yang lebih berarti lagi. Selamat mencoba!

Syria - Shocking: #AylanKurdi #KijiyaVuranInsanlik

Friday, 4 September 2015

Just yesterday, I was calmly scrolling through my newsfeed when I come across this news.

Aku diam, terkesiap, termangu.
Aku menengadah. Wajahku panas.
Kok gini..
Kok nggak berdaya gini?

This is unbearable.

I hope this will help raising our awareness, even if it's just a little.



Reuters

Kurang dari 48 jam yang lalu, dunia dikagetkan dengan foto-foto menusuk dari tubuh seorang bayi pengungsi asal Suriah yang diantarkan ombak ke pesisir Turki. 'Aylan Kurdi, diketahui merupakan salah satu korban dari tenggelamnya perahu pengungsi ketika menuju Pulau Kos, Yunani. Dalam insiden ini, diketahui hanya dua orang yang selamat, salah satunya ayah dari bayi ini, Abdellah Kurdi. Foto ini menyebar di Twitter dan situs-situs berita, masuk ke TTWW (Trending Topics Wordwide) dengan hashtag #AylanKurdi #KijiyaViranInsanlik dan #HumanityWashedAshore

'Aylan Kurdi - Bahkan belum 3 tahun :')


Situasi putus asa di Suriah yang hancur oleh perang, telah memaksa setidaknya setengah dari populasi negara tersebut untuk pergi menyelamatkan diri. Turki menjadi destinasi utama, secara luar biasa menampung nyaris 4 juta orang pengungsi dan mengeluarkan bantuan senilai  5.6 miliar dolar AS - atau setara Rp80 trilyun. Lebanon menampung sekitar satu juta pengungsi, kurang dari 150.000 di Eropa, dan sisanya di negara sekitar Suriah.

Krisis Pengungsi = Krisis Kemanusiaan

Sejak konflik dimulai pada tahun 2011, rakyat Suriah, penduduk sipil telah menjadi korban utama. Lebih dari 300.000 orang telah tewas oleh senjata tajam, misil, bom, serta senjata kimia. Sembilan juta orang melarikan diri dari negara tersebut. Mereka yang mengungsi pun jauh dari mencicipi hidup yang layak, dengan kurangnya suplai makanan, pakaian, dan obat-obatan. Banyak yang berharap mendapatkan perlindungan dari negara-negara Uni Eropa. Jerman, telah mengakomodasi sekitar 30.000 orang, dan berencana untuk merangkul hingga 800.000 orang pengungsi.


Meski secara umum Uni Eropa bersepakat untuk membantu, bantuan yang diberikan sangat bervariasi, seperti pada kasus Inggris. Kontras dengan Jerman, Inggris baru mengizinkan 166 orang dalam satu tahun sejak Juni 2014 lalu - meski tekanan dari masyarakat inggris terus meningkat untuk menerima pengungsi. Sejak foto diatas beredar, sebuah petisi untuk parlemen yang meminta Inggris merevisi kebijakan untuk pengungsi telah mencapai sekitar 60 ribu tanda tangan kemarin siang, meningkat menjadi 218 ribu permintaan kemarin malam, dan 309 ribu tadi pagi (4/9) sekitar pukul 5.00, jauh melampaui target 100 ribu tanda tangan . Twitter juga kebanjiran kicauan dengan tagar #RefugeesWelcome yang mendesak PM Inggris David Cameron untuk merubah kebijakannya.

Kiel, Jerman. Sumber: The Guardian
Rakyat Jerman sendiri, patut diapresiasi, sangat membuka diri pada para pengungsi. Banyak program di akar rumput yang menggelar bantuan untuk para pengungsi, bahkan sebuah program di Berlin, bertujuan untuk menyediakan kamar di rumah warga jerman sebagai tempat tinggal bagi pengungsi, kebanjiran permintaan pendaftaran dari warga, dengan lebih dari 780 aplikasi menyatakan bersedia untuk menampung pengungsi.


Seorang anak berumur 13 tahun dari Suriah menyampaikan permohonan kepada Eropa di Budapest, Hungaria:


Sumber: AJ+



The message is clear: Stop the war.

Meski respon internasional secara general positif, tetap ada sentimen negatif yang beredar. Di situs-situs berita berbahasa inggris, banyak komentar rasis, melecehkan, dan anti-pengungsi dengan mudah ditemukan. Begitupun di dunia nyata, seiring meningkatnya jumlah asylum seekers, meningkat pula kekerasan terhadap mereka. Sejak awal 2015, sudah 336 kasus kekerasan di Jerman terjadi, umumnya oleh para garis keras sayap kanan.

Kritik keras dari dunia internasional juga ditujukan pada negara-negara teluk, seiring Arab Saudi, Bahrain, Qatar, UAE, negara-negara kaya yang posisinya relatif dekat ini menolak untuk menerima satupun pengungsi. Lebih menyedihkan lagi, karena mereka seharusnya adalah muslim. Dari rakyat arab, kritik keras kepada kebijakan pemerintah bergaung di Twitter di hashtag bahasa arab #Welcoming_Syria's_refugees_is_a_Gulf_duty
Sakit gini ilustrasinya 

Semoga ini jadi pengingat bagi kita semua, dan membekas dihati kita, kalau punya. Remember that, just because it's not happening here, doesn't mean it's not happening.

Fii Amanillah, our brothers, may Allah grant you Jannah for what you've been fighting for.

And for 'Aylan, sleep tight, we hope we'll see you again in Jannah. Aamiin.

Bandung 9 September 2015,
with condolences,
Akhyar Kamili

Schools Are Not Enough | For Parents

Wednesday, 12 August 2015

If you haven't seen the 'For Students' part, I suggest you check it out first, here.

Of course, every parent would wish for the best education course for their children (if you don't, why the heck are you one), and the long, unending debate I talked about in the earlier article is mostly between parents. Unsurprisingly, sometimes they are much more sensitive to their children's school place than the children themselves. One thing is certain, parents have a great influence on their children's education. I say, they are a more deciding factor than the school or any formal course of education.

Schools might give children the necessary technical skills. However, parents are the one who are supposed to give their child learning skills. Emotional intelligence and spiritual capability of a child mostly consist of how their parents taught them. How their parents showed them.

The truth is that, school, or any kind of education institution, is not capable of doing a miracle to a child. I noticed that a lot of parents send their children to a religious school expecting their problematic children would come home nice, kind, and religious. Some send their children to religious-modern school (SMAIT, SMPIT, SDIT) expecting their children to be transformed into a nice, kind, religious, academically smart child. Hey, come on. That's not the way it works. Schools can't change anyone. They can give technical skills, but that's it. If your child is the type who likes to study, dilligent, polite, you send them to a religious school, they will come home better. If your child is the most rebellious, doesn't like to learn new thing, doesn't like to think, no matter which magic school you send him into, he will come back with some soon-forgotten technical religious knowledge and that's it. I think every parent should understand this. Not only religious school, this also apply to any kind of education course. Let me stress it again, unless you send your kid to Hogwarts, schools don't do magic. Because no matter which way of education you choose for your children, there is no shortcut in parenting. The roles of parents cannot be neglected, no matter what.

As for technical skills, it's never too late to make your child participate in an activity outside their school or even college. As I suggested in the linked writing above, skill-related course or a job will really help them, whether it's now or in the future. Find their interests, and let them pursue it. It doesn't matter if their interest changes over time, they're still a child. Also, discuss it with them, trust your child. Make them participate in making family decisions, especially for things related to them. Personally, I don't believe in the concept of  'Teen Phase' in life. I believe when your child has reached puberty, they should be able of making their own life decisions, and have some responsibility about it. So, encourage it.

If you decide to send your child to a public or private school, regularly doing a family meeting never hurts. Monitor their progress, both in academic and extracurricular activities. When a children step into puberty, they need a friend. And I think the best friend you can give, dear parents, is yourself.


Schools Are Not Enough | For Students

Monday, 3 August 2015

It has been a long, nearly endless debate when it comes to choosing the best course of education. Most of us choose a public school. Some of us, prefers private schoool. Some others insist on religious school, some boarding school, and some doesn't even go to school. Like me.

Admittedly, there is nothing such as a perfect education system. To put it simple, one's education involves many factors other than just a system designed for mass education. Parents, friends, environment, even personal traits have to be taken into account.

Talking about school, many of us are obsessed with choosing the best school. Generally, a good school is one that rules over these criterias:

  • Good learning environment
  • Good teachers
  • Good academic reputation
  • Good university acceptance rate
  • And other stuff.
However, for sure, these values are very relative. For a school, it's mostly relative to the area where it's located. Here in Indonesia, we can say the standards are really low. Take the best engineering school around, ITB, as an example. The rate of acceptance per Faculty is extremely small, most of them has less than 5% admission rate. Even MIT has 7.8% admission rate. However, MIT sits comfortably on top of the world, while ITB can be found after digging a couple miles deep, rank 461 - according to  topuniversities. From these numbers, we can conclude that something is very, very wrong.

Who's guilty? No one. Most likely, it's the education system. It is true that there is no perfect system, but it is also true that there are plenty of incomplete system. And a weak system, produces weak people. I say it is to blame for Indonesia's small contribution in science. However let's face it, this is the reality, and to change it the system needs a long-term major overhaul. Since it's not happening yet (or so it seems), let's check what you can do to improve yourself.

First,  I believe it is essential for a student to have an extracurricular/organisational activity outside school. Be it a cooking class, a language course, a  humanitarian organization, or a part-time job (these ones I mentioned are highly recommended), it's best for you to have one. Not only to polish or add your technical skill, it's also to improve your life skill. Interaction with other people - who is not your age, work ethics, and other social skills you don't get in school. Also, you'll possess a better learning skill if you are in these activiteis.

Second, for the academics, your future prospects, have a special community for academics. Especially in the fields you like. Once you find the right people in the right place, your academics will be rocketing sky high. It could be bimbel, although bimbel can be defined as a forced learning environment. But better, it has to be a place of genuine interest, where you and some other study together to your heart's content. What if there isn't one? Easy, make one! It doesn't have to be a formal institution. It could be your fellow classmates. Or your fellow neighbors. This is important because simply the existence of these people, with similar goals and interest as you, will encourage you for your studies. If you're smart, they don't have to be smarter than you. You can be the one who helps them, and that will improve your skill as well.

Third, for psychological and spiritual strength, even if you're in a religious school, I'd recommend you to do some mentoring. Why? Because spiritual learning is special, you'll learn and use it your whole lifetime. Also because in the standard mentoring system you will have the responsibility to mentor someone else, this would also help you improve your learning skills, from the natural pressure, and also communication skills.

I guess, that's three advices I can give as a supposedly-recently-graduated-from-SHS senior. No matter which course of education you choose, you just need to live it. You don't have to be serious all the time, but always be serious when it's related to your goals. As I said, there is no perfect system, you just have to improvise.

\(oo)/

By the way, I'm thinking of making one, a community for learning, where we can learn and share fun stuff. WDYT? Tell me in the comments!




 

Hits

Stack Overflow

Blogroll

Blog Nanda
Days of Nan - http://nan2598.blogspot.com/

Writings of Niti
Niti No Kakikomi - http://samazamanakakikomi.blogspot