Menuju Pendidikan yang Merdeka: Mengajarlah!

Wednesday, 8 June 2016

Education should be available, accessible, acceptable, adaptable to everyone.
–– Katarina Tomaševski, United Nations CESCR General Comment 13, 1999


Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang paling dasar. Setiap orang memiliki hak atas pendidikan yang baik dan layak, tanpa terkecuali. Tertulis jelas dalam Undang - Undang Dasar  1945 Pasal 31 Ayat 1: Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Tanpa generasi yang terdidik, Indonesia tidak akan pernah terlahir. Maka cukup aneh jika hingga hari ini, potret pendidikan negeri kita masih juga terkungkung berbagai masalah dasar, serta diperlakukan seolah prioritasnya rendah. 

Pada hakikatnya, pendidikan yang kita butuhkan adalah pendidikan yang merdeka. Merdeka dari kapitalisasi, karena seharusnya tidak ada orang yang tidak teredukasi semata karena faktor ekonomi. Merdeka dari keterbatasan geografis, karena sudah sepantasnya seorang anak yang tinggal di Maluku mendapatkan akses yang sama dengan anak yang tinggal di Jawa. Anak-anak tidak pernah memilih dimana mereka lahir, dan pada setiap diri kita terdapat kewajiban untuk memfasilitasi proses pembelajaran mereka. Merdeka dari elitisme. Merdeka dari ketidakjujuran. Merdeka dari ketidakadilan. Semua ini terangkum dalam empat poin yang terumuskan dalam kutipan diatas: (1) ketersediaan (availability) (2) kemudahan akses (accessibility), (3) kepantasan (acceptability), dan (4) adaptabilitas (adaptability).

Sayangnya, kenyataan, seperti biasa, jatuh agak jauh dari ekspektasi. Pada prakteknya, banyak daerah di Indonesia belum dapat menyediakan pendidikan bagi warga. Bisa dibilang, negara gagal memenuhi poin pertama gagasan yang terkutip diatas. Lebih banyak lagi yang gugur di poin kedua: Di banyak tempat, edukasi hanya tersedia untuk sebagian orang. Jika poin ketiga ikut kita perhitungkan, maka jelas angka pendidikan yang dapat kita sebut layak akan turun drastis. Jangankan di pelosok desa terpencil, di kota-kota besar pun banyak institusi pendidikan tidak mampu menyediakan pendidikan yang kualitasnya pantas. Terakhir, sistem pendidikan negara kita yang rigid, kaku, tidak membantu poin keempat sama sekali. All and all, perjalanan kita mewujudkan sistem pendidikan yang ideal tampaknya masih panjang.

Tapi ada yang unik disini. Meski hasil secara keseluruhan sistem dan hasil pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah – jika tidak minus – jumlah orang terdidik di Indonesia tidaklah sedikit. Organization for Economic Co-operation Development (OECD) memproyeksikan jumlah sarjana di Indonesia dapat mencapai empat persen dari seluruh jumlah sarjana negara-negara G-20 pada tahun 2020. Mungkin ini berkah dari jumlah penduduk yang banyak, sehingga tampaknya secara kuantitatif jumlah orang pintar di Indonesia tidaklah kurang dari Singapura. Artinya, masalah utama yang dihadapi pendidikan Indonesia saat ini adalah masalah pemerataan. Disini, terjadi sebuah ketimpangan akademik: sejumlah besar insan terdidik, dan sejumlah besar orang yang belum terdidik, hadir ibarat gunung dan jurang yang berdampingan. Data ini seolah mengatakan bahwa sikap kita adalah every man for himself: “Saya pintar, Anda tidak dan itu bukan urusan saya.” Agak meleset memang dari asas kekeluargaan dan gotong royong yang kita banggakan. Siapa yang salah? Mungkin kita perlu mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Apakah kita seapatis ini?

Di atas, saat saya menyebut “.. Bisa dibilang, negara gagal memenuhi ..”, yang saya maksudkan bukanlah (hanya) pemerintah. Toh, kita juga adalah bagian dari negara. Setiap orang memiliki kewajiban untuk membantu mengatasi masalah pendidikan. Sungguh, bersama setiap kepingan ilmu datang satu kepingan tanggung jawab untuk meneruskannya. Karena itu, berbagilah! Ajarkanlah ilmu yang dimiliki. Seandainya setiap dari kita bisa berbagi ilmu secara berkala kepada orang lain, maka kualitas sumber daya manusia kita pun – dengan seizin Allah – akan meroket. 

Penekanan untuk berbagi ilmu ini berlaku untuk semua orang. Tentunya generasi muda, terutama mahasiswa, adalah pihak yang kontribusinya paling dinanti. Mahasiswa sebaiknya tidak enggan untuk berbagi ilmu. Perlu dipahami bahwa untuk bisa mengajar, tidak perlu mampu berjalan diatas air. Tidak perlu kesaktian, tidak perlu kesempurnaan mastery. Yang perlu dibagi tidaklah lebih dari apa yang dimiliki. Mengajarlah!

Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Kita hanya kurang berbagi.


Bandung, 8 Juni 2016
Akhyar I. Kamili

1 comment:

Nan said...

Berbagi ilmu --> mengajar --> jadi guru

Aku yakin ini jalan berpikir banyak orang. Mungkin secara tidak sadar, orang yg tidak pernah benar2 berniat menjadi guru langsung mengeliminasi diri dari 'berbagi ilmu'. Padahal tidak sesempit itu, kan, untuk berbagi.

Contohnya? Gua sendiri wk.

Post a Comment

None

 

Hits

Stack Overflow

Blogroll

Blog Nanda
Days of Nan - http://nan2598.blogspot.com/

Writings of Niti
Niti No Kakikomi - http://samazamanakakikomi.blogspot