Oktober, 1997. Tangisan kecilku terdengar mereda dari dalam pelukan ibuku. Saat itu, beliau adalah mahasiswi tingkat dua di ITB, jurusan teknik sipil. Tentunya, mengurus seorang bayi sekaligus menimban ilmu dari institut yang katanya terbaik dan terkeras tidaklah mudah. Tapi ternyata, Allah memberi jalan. Ketika penjelasan dosen meminta perhatian, aku dititipkan oleh ibuku pada teman-temannya. Aku dititipkan di tempat yang sejuk, adem, luas, baby-friendly dan... radikal. Katanya sih.
Masjid Salman ITB.
Sekarang tahun 2001. Aku berusia empat tahun. Tempat wisata favoritku waktu itu hanya satu: Bonbin! Dan setelah bonbin, tempat ngadem, tempat makan yang paling enak ya kantin... radikal.
Masjid Salman ITB.
Tahun 2012, aku memasuki usia SMA. Sudah waktunya aku mencari jati diri, mengeksplorasi minat dan bakatku. Lalu, aku dikenalkan pada sebuah organisasi pengembangan minat remaja. Kreatif, itu namanya. Disana, aku belajar sains, fotografi, bahkan menulis. Disana juga tumbuh bibit-bibit ketertarikanku pada dunia organisasi dan dunia aktivisme. Aku berteman dengan orang-orang baik, dan belajar untuk menjadi orang yang bermanfaat. Semua ini terjadi di lapangan rumput masjid... radikal.
Masjid Salman ITB, lagi.
Tahun 2015, aku dan beberapa teman menggagas sebuah tempat bimbel murah. Mengajarnya voluntir. Kami membantu anak-anak SMA untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian seleksi perguruan tinggi negeri. Tapi, kami mahasiswa yang miskin ini tidak punya uang untuk sewa tempat! Jadilah segala planning, kegiatan belajar-mengajar, bahkan try-out dilakukan di lantai sejuk koridor timur masjid... radikal.
Dimana lagi kalau bukan di Masjid Salman ITB?
Maret, 2017. Aku berada jauh sekali dari Salman ITB. Dibawah teriknya matahari Doha, aku sedang sibuk memikirkan topik final paper-ku di kelas menulis akademik mahasiswa tingkat satu. Seperti kebanyakan profesor di Carnegie Mellon, profesor kelas ini ramah dan hangat, tapi cara menilainya killer. Akademisi Uruguay satu ini, standarnya tinggi minta ampun. Tema kelasnya pun sulit, soal bagimana lanskap urban bisa mempengaruhi isu-isu masyarakat seperti segregation, discrimination, sampai cultural identity. Akhirnya, aku memutuskan untuk menulis soal ruang publik. Fokusnya, religious public spaces. Case study-nya? Tentunya, sebuah tempat yang all-welcoming, hangat, penuh dengan kasih sayang dan semangat persatuan, dan... radikalisme?
Masjid Salman ITB, euy!
Satu bulan dan 17 halaman kemudian, aku membaca hasil penilaian profesorku. Disana tertulis: Very nice paper! Mark: A. Alhamdulillah.
Sekarang aku di tahun ke-20 bersama Masjid Salman ITB. Aku, yang besar di masjid ini, masih belum bisa menemukan jejak secuil nilai radikalisme yang dimaksud. Atau mungkin aku yang salah paham, jangan-jangan radikalisme yang dimaksud konotasinya positif. Mungkin yang empunya mulut hanya ingin bilang bahwa nilai-nilai yang baik dan mengakar telah menyebar ke lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Tanah Air. Terutama di ITB lewat Masjid Salman.
Atau, beliau tidak serius. Pak Kiyai kan memang senang bergurau?
Bandung, 25 Mei 2017.
Akhyar Kamili
Gambar: Fatharani Yasmin Shaffiyya Sani, 2015. "Kebahagiaan kecil."
#TehSalmanManis
No comments:
Post a Comment
None