Mimpi & Misi (2019)

Monday, 10 June 2019

Aku sering mengingat perkataan Rasulullah SAW, dihasankan oleh Al-Albani, bahwa sebaik-baiknya manusia itu adalah yang terbaik bagi orang lain. Rasulullah SAW juga bilang bahwa kalau kita membantu keperluan saudara kita, maka Allah pun akan membantu kita. Karena itu, aku ingin menjadi orang yang bisa membantu orang banyak.

Saat ini, dunia tidak sedang baik-baik saja. Umat manusia begitu rusak dan merusak. Yang lemah ditindas, yang kuat menjajah. Yang miskin tertinggal, yang kaya memalingkan muka. Kita jauh dari Allah, dan Allah juga jauh dari kita. Aku, sebagai seorang Muslim, ingin menjadi bagian dari perubahan. Merubah dunia ini menjadi lebih baik. Lewat keahlianku, lewat dakwah, atau bahkan lewat jalan-jalan lain yang mungkin belum Allah tunjukkan.

Aku ingin menggunakan ilmu yang kumiliki untuk meraih tujuan ini. Keahlianku di bidang ilmu komputer, salah satu cabang ilmu yang paling vital di abad ini. Ilmu komputer itu bukan sekedar tentang komputer, tapi tentang merancang sistem-sistem yang bisa bekerja secara otomatis. Mulai dari produksi pangan, tata negara, konstruksi, transportasi, sampai manufaktur sekarang harus melibatkan ilmu ini. Karena itu, sangat vital bagi orang-orang Islam untuk menguasai dan memahami ilmu ini. Sayangnya, sampai hari ini, kita masih tertinggal jauh, dan hanya bisa menjadi konsumen saja.

Dengan ilmu komputer, aku ingin membuat sistem-sistem yang revolusioner dan membantu banyak orang. Khususnya, aku ingin berkontribusi di bidang edukasi, dan ekonomi. Edukasi di Indonesia sekarang sangat tidak merata, kualitasnya pun rendah. Secara umum, hanya mereka yang kaya bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Ekonomi pun sama, banyak ketidakadilan yang terjadi, disebabkan oleh keserakahan, kebodohan, dan sistem yang ribawi.

Diantara hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengembangkan ekonomi di Indonesia adalah memperkuat kerjasama ekonomi antara umat Muslim di seluruh dunia. Harapanku, khususnya, suatu hari Qatar dapat memiliki hubungan ekonomi yang kuat dengan Indonesia. Melihat betapa mudahnya komunitas Indonesia terintegrasi di Qatar, aku cukup yakin bahwa ada banyak sektor yang bisa dikembangkan bersama oleh kedua negara.

Salah satu sektor yang bisa menguntungkan kedua negara adalah sektor perbankan syariah. Qatar merupakan salah satu pusat pengembangan terdepan dari teknologi dan sistem perbankan syariah. Bahkan kabarnya, sekelas Qatar Development Bank pun sedang menjajaki perubahan untuk menjadi lebih taat kepada aturan syariah. Di sisi lain, Indonesia, dengan 85% populasi Muslim dan ekonomi yang berkembang, merupakan negara dengan potensi perbankan syariah yang sangat besar.

Contoh lain adalah sektor informatika dan perusahaan berbasis teknologi. Qatar, melalui QSTP, banyak membiayai perusahaan rintisan (startup). Masalahnya, potensi pasar di Qatar tidaklah besar. Indonesia, yang masyarakatnya semakin mengenal terhadap teknologi, bisa jadi opsi pasar yang menarik bagi Qatar untuk ditanamkan investasi.

Dibidang edukasi, teknologi sedang berkembang pesat untuk merubah sistem yang selalu stagnan sejak zaman Revolusi Industri. Desain sekolah, sistem pembelajaran, kurikulum, banyak yang bisa dibenahi dengan bantuan teknologi. Aku percaya bahwa teknologi bisa membantu pendidikan menjadi lebih personal dan mendalam, sehingga setiap orang bisa dimaksimalkan potensinya. Teknologi juga bisa membantu membuat edukasi lebih mudah diakses, sehingga pembelajaran tidak terhenti di usia 17 saja. Sudah sepantasnya siapapun, kapanpun, dimanapun, bisa mendapatkan akses ke pendidikan yang berkualitas.

Tentunya, sebagai seorang Muslim, aku juga ingin Islam agar dipahami lebih banyak orang lagi. Masih butuh banyak usaha untuk mengenalkan Islam yang kaffah, menyeluruh, kepada masyarakat dunia. Kukira, dalam tahapan hidup manapun kita berada, kita perlu selalu menjadi seorang pendakwah - orang yang mengajak orang lain menuju kebaikan dan kebenaran. Baik posisi kita sebagai seorang pelajar, mahasiswa, pekerja, jomblo atau sudah bercucu, identitas sebagai pendakwah adalah identitas yang harus selalu kita pegang erat-erat.

Mimpi-mimpi ini jelas tidak mudah untuk dicapai. Tapi, layaknya setiap mimpi, ia bisa segera dijalani. Untuk berkontribusi dalam bidang edukasi, akan kumulai dengan belajar dan mengajarkan ilmu yang kupunya. Dalam musim panas kali ini, aku berharap aku bisa mengajar beberapa orang, termasuk adikku sendiri, untuk mengejar tes internasional SAT, agar mereka bisa kuliah ke Amerika atau ke Qatar. Jika memungkinkan, aku ingin mengajarkan bahasa Inggris dan keahlian-keahlian yang sifatnya akademik (membaca, menulis, presentasi) selagi aku masih di Indonesia.

Untuk berkontribusi dalam bidang ekonomi, akan kumulai dari belajar lebih banyak lagi, bekerja, dan membangun jaringan di Qatar dan Indonesia. Kuharap, dengan ibuku adalah seorang ahli ekonomi syariah, dan ayahku adalah ahli sistem perbankan syariah, aku bisa menemukan tempat untuk berkontribusi membangun ekonomi negeri ini.

Dalam bidang dakwah, kuharap aku bisa mewariskan sebuah organisasi dakwah yang melingkupi seluruh Education City. Semester depan adalah semester terakhirku sebagai presiden Muslim Student Association di kampus, dan setelah dua tahun memimpin, kuharap aku bisa meninggalkan jejak yang signifikan, membuka jalan untuk generasi mahsiswa selanjutnya agar mereka bisa menjalani Islamnya dengan lebih baik, agar mereka bisa berdakwah dengan lebih mudah dan lebih kuat lagi.

Banyak tantangan dalam menjalani mimpi-mimpi ini. Menuju dunia yang lebih baik tentunya bukan hal yang bisa terjadi dalam waktu satu-dua tahun saja. Tapi sebagai seorang Muslim, aku percaya bahwa yang membawa perubahan bukanlah tindakan kita, tapi Allah. Maka jika jalan dakwah ini telah mengajarkanku satu hal, ia adalah kesabaran dan kerendahan hati. Aku hanya bisa berusaha sebaik mungkin, dan hasilnya, kuserahkan pada Allah.

Terakhir, tentunya tidak ada satupun dari mimpi-mimpi ini yang bisa terwujud tanpa perbaikan diri. Kalau pembaca ada waktu, tolong doakan. Kalau ada ide, kritik, atau saran, tolong sampaikan. Jazakumullahu khayran.

Semoga bermanfaat.

Kenapa belajar ilmu komputer? Untuk muslim yang awam.

Saturday, 8 June 2019

Ilmu komputer merupakan ilmu yang paling dibutuhkan sekarang. Hampir semua aspek hidup manusia tersentuh olehnya. Pada abad ini, kita melihat lewat komputer, mendengar lewat komputer, dan berbicara juga lewat komputer. Dalam jangka waktu dekat, proses berpikir dan menganalisa informasi pun dibantu oleh sistem komputer. Dalam skala makro pun tidak jauh berbeda: Industri manufaktur, transportasi, pangan, konstruksi, energi, semua membutuhkan komputer. Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa ilmu komputer hari ini sama pentingnya dengan matematika di masa lalu. Seiring banyaknya bagian dari kehidupan kita yang di-otomasi oleh mesin, semakin bergantung kita terhadap mesin-mesin yang kita buat.

Bukan hanya masalah ketergantungan kita pada otomasi mesin saja, sebenarnya. Seiring kita semakin lihai merancang mesin dan sistem yang membantu kehidupan kita, semakin besar juga dampak yang bisa kita berikan kepada umat manusia dan alam sekitar kita. Lihat saja perkembangan teknologi informasi dalam waktu 20 puluh tahun terakhir: Internet telah merubah cara kita belajar, berpikir, dan bekerja. Ambillah contoh lembaga keuangan seperti bank: Pengaruh bank dan kekuatan kredit tidak pernah sebesar sekarang. Hanya dalam satu-dua sentuhan, uang bisa mengalir.

Tentunya, dampak mudahnya mengalirnya uang ini sangat tergantung dengan lembaga dan masyarakat yang memakainya. Jika digunakan dengan baik, maka ekonomi semakin berkembang. Sebaliknya, jika digunakan dengan buruk, maka ekonomi akan runtuh. Dunia telah menyaksikan krisis moneter global tahun 2008, ketika uang orang banyak, difasilitasi dengan teknologi, disalahgunakan dan dikorupsi. Banyak orang yang dalam sekejap, hidupnya langsung hancur.

Kukira, teknologi adalah salah satu bentuk kekuatan. Di tangan orang yang tepat, ia bisa membuat kebaikan yang besar, tapi jika tidak, ia juga bisa membuat kehancuran yang masif. Maka dari itu, penting bagi orang-orang Islam untuk menguasai bidang ini. Jika kita tidak menguasainya, maka dengan izin Allah, seluruh kehidupan kita akan berada di tangan orang-orang yang tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Qadarullah, hari ini kita sangat jauh tertinggal. Kita hanya menjadi konsumen smartphone, konsumen media sosial, dan konsumen industri teknologi. Proses manufaktur? Tidak paham. Proses perancangan? Tidak paham. Proses pembuatan perangkat lunak? Tidak paham juga. Kita hari ini tidak jauh berbeda dengan 150 tahun yang lalu, saat Eropa berhasil mengembangkan ilmu kimia dan mekanika untuk merancang senapan mesin, artileri berat, dan kendaraan lapis baja, sementara kita hanya bisa membeli persenjataan dari mereka.

Kalau kita hanya bisa jadi konsumen, sampai kapanpun juga sepertinya tidak akan datang kejayaan Islam.

Aku, yang besar di masjid radikal!

Tuesday, 14 November 2017


Oktober, 1997. Tangisan kecilku terdengar mereda dari dalam pelukan ibuku. Saat itu, beliau adalah mahasiswi tingkat dua di ITB, jurusan teknik sipil. Tentunya, mengurus seorang bayi sekaligus menimban ilmu dari institut yang katanya terbaik dan terkeras tidaklah mudah. Tapi ternyata, Allah memberi jalan. Ketika penjelasan dosen meminta perhatian, aku dititipkan oleh ibuku pada teman-temannya. Aku dititipkan di tempat yang sejuk, adem, luas, baby-friendly dan... radikal. Katanya sih.

Masjid Salman ITB.

Sekarang tahun 2001. Aku berusia empat tahun. Tempat wisata favoritku waktu itu hanya satu: Bonbin! Dan setelah bonbin, tempat ngadem, tempat makan yang paling enak ya kantin... radikal.

Masjid Salman ITB.

Tahun 2012, aku memasuki usia SMA. Sudah waktunya aku mencari jati diri, mengeksplorasi minat dan bakatku. Lalu, aku dikenalkan pada sebuah organisasi pengembangan minat remaja. Kreatif, itu namanya. Disana, aku belajar sains, fotografi, bahkan menulis. Disana juga tumbuh bibit-bibit ketertarikanku pada dunia organisasi dan dunia aktivisme. Aku berteman dengan orang-orang baik, dan belajar untuk menjadi orang yang bermanfaat. Semua ini terjadi di lapangan rumput masjid... radikal.

Masjid Salman ITB, lagi.

Tahun 2015, aku dan beberapa teman menggagas sebuah tempat bimbel murah. Mengajarnya voluntir. Kami membantu anak-anak SMA untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian seleksi perguruan tinggi negeri. Tapi, kami mahasiswa yang miskin ini tidak punya uang untuk sewa tempat! Jadilah segala planning, kegiatan belajar-mengajar, bahkan try-out dilakukan di lantai sejuk koridor timur masjid... radikal.

Dimana lagi kalau bukan di Masjid Salman ITB?

Maret, 2017. Aku berada jauh sekali dari Salman ITB. Dibawah teriknya matahari Doha, aku sedang sibuk memikirkan topik final paper-ku di kelas menulis akademik mahasiswa tingkat satu. Seperti kebanyakan profesor di Carnegie Mellon, profesor kelas ini ramah dan hangat, tapi cara menilainya killer. Akademisi Uruguay satu ini, standarnya tinggi minta ampun. Tema kelasnya pun sulit, soal bagimana lanskap urban bisa mempengaruhi isu-isu masyarakat seperti segregation, discrimination, sampai cultural identity. Akhirnya, aku memutuskan untuk menulis soal ruang publik. Fokusnya, religious public spaces. Case study-nya? Tentunya, sebuah tempat yang all-welcoming, hangat, penuh dengan kasih sayang dan semangat persatuan, dan... radikalisme?

Masjid Salman ITB, euy!

Satu bulan dan 17 halaman kemudian, aku membaca hasil penilaian profesorku. Disana tertulis: Very nice paper! Mark: A. Alhamdulillah.

Sekarang aku di tahun ke-20 bersama Masjid Salman ITB. Aku, yang besar di masjid ini, masih belum bisa menemukan jejak secuil nilai radikalisme yang dimaksud. Atau mungkin aku yang salah paham, jangan-jangan radikalisme yang dimaksud konotasinya positif. Mungkin yang empunya mulut hanya ingin bilang bahwa nilai-nilai yang baik dan mengakar telah menyebar ke lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Tanah Air. Terutama di ITB lewat Masjid Salman.

Atau, beliau tidak serius. Pak Kiyai kan memang senang bergurau?
Bandung, 25 Mei 2017.

Akhyar Kamili

Gambar: Fatharani Yasmin Shaffiyya Sani, 2015. "Kebahagiaan kecil."
#TehSalmanManis

Tunda.

Sunday, 15 October 2017

Akhi, tidak bisakah kita menunda perseteruan kekanak-kanakan ini? Mungkin akan lebih pantas memperdebatkann hal2 ini ketika Muslim di Turki sudah bebas menjalankan agamanya, di Indonesia dilindungi dari penindasan sistematik kapitalisme, di Mesir dibebaskan dari penyiksaan2 yang tidak mengizinkan mereka untuk bahkan shalat, di Amerika dilindungi dari godaan para liberal dan penistaan para konservatif, di Prancis dibolehkan memakai hijab dan menjadi muslim di ruang publik?

Kalau kita mengimani Allah dan Rasul yang sama, shalat lima waktu bersama, zakat dengan aturan yang sama, shaum ramadhan juga bersama-sama, haji pun ketempat yang sama, melihat kondisi masyarakat yang yang sama, memiliki azzam untuk merubahnya yang sama, kenapa harus saling mencela dengan klaim-klaim yang basisnya tidak jelas? Bukankah kita bangga mengikuti prinsip yang diajarkan Rasulullah SAW soal tabayyun?

Yah, mungkin kita belum berkenalan dengan cukup baik. Dan mungkin kami belum menunjukkan wajah yang baik dihadapan kalian, saudara seiman. Semoga Allah memaafkan kesalahan kami tentang kalian dan kalian tentang kami. Semoga Allah melindungi hati kita yang rapuh ini dari hasad dan kesombongan, dan mengizinkan rekonsiliasi suatu saat nanti.

الله يهديك

- yang sama-sama ingin memperbaiki dunia Islam agar kembali ke ajaran Allah dan rasul-Nya

Beban

Friday, 13 October 2017

Kemarin, Muslim Student Association (MSA) di CMUQ menggelar diskusi yang.. dalem.

Kami berbicara soal dakwah. Soal hakikatnya, sifatnya, dan tantangan-tantangannya. Diantara berbagai pemikiran menarik yang muncul ke permukaan, satu pengingat terasa sangat menohok.

Di kampus yang sekuler ini... Kami yang lemah, rapuh, dan sebenarnya bukan apa-apa dianggap sebagai representasi dari Islam. Mereka yang shalat, mereka yang pake jilbab. Sejujurnya, ini adalah sebuah nikmat yang luar biasa. Ditengah hiruk-pikuk kehidupan kampus yang melalaikan, Allah masih sayang terhadap kami. Allah memberi kami ketenangan, memberi kami pemahaman bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada karir. Bahwa nilai bukan hanya "bukan segalanya", tapi "bukan apa-apa" di hadapan Allah yang Mahabesar. Kami bersyukur kami diberi kesempatan untuk menjadi agen dakwah, penerus para nabi.

Tapi ini juga sebuah ujian.

Kita yang diberikan kehormatan sebagai representasi Islam menanggung beban yang berat. Ketika kita melakukan kebaikan, maka pandangan orang mengenai Islam akan membaik. Tapi apa yang terjadi ketika kita, sebaliknya, bermaksiat atau melakukan sesuatu yang makruh? Mereka tidak akan bertanya dua kali kenapa kami melakukan maksiat. Manusia yang naif akan segara mengambil asumsi,

"Oh ternyata gak apa-apa ya. Toh, doi juga ngelakuin."

 Pertanggungjawaban dunia dan akhirat macam apa yang kami hadapi?

 Aku tidak tahu. Tapi kurasa, kami terikat pada standar moral yang lebih tinggi. Semoga Allah yang Mahaadil menjaga kami.

Doha, 13 Oktober 2017

Akhyar Kamili
 

Hits

Stack Overflow

Blogroll

Blog Nanda
Days of Nan - http://nan2598.blogspot.com/

Writings of Niti
Niti No Kakikomi - http://samazamanakakikomi.blogspot