Education should be available, accessible, acceptable,
adaptable to everyone.
–– Katarina Tomaševski, United Nations CESCR General Comment 13, 1999
Pendidikan merupakan salah satu hak asasi
manusia yang paling dasar. Setiap orang memiliki hak atas pendidikan yang baik
dan layak, tanpa terkecuali. Tertulis jelas dalam Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat 1: Setiap warga negara
berhak mendapat pendidikan. Tanpa generasi yang terdidik, Indonesia tidak akan pernah
terlahir. Maka cukup aneh jika hingga hari ini, potret pendidikan negeri kita masih
juga terkungkung berbagai masalah dasar, serta diperlakukan seolah prioritasnya
rendah.
Pada hakikatnya, pendidikan yang kita
butuhkan adalah pendidikan yang merdeka. Merdeka dari kapitalisasi, karena
seharusnya tidak ada orang yang tidak teredukasi semata karena faktor ekonomi. Merdeka
dari keterbatasan geografis, karena sudah sepantasnya seorang anak yang tinggal
di Maluku mendapatkan akses yang sama dengan anak yang tinggal di Jawa.
Anak-anak tidak pernah memilih dimana mereka lahir, dan pada setiap diri kita
terdapat kewajiban untuk memfasilitasi proses pembelajaran mereka. Merdeka dari
elitisme. Merdeka dari ketidakjujuran. Merdeka dari ketidakadilan. Semua ini
terangkum dalam empat poin yang terumuskan dalam kutipan diatas: (1) ketersediaan (availability) (2) kemudahan akses (accessibility), (3) kepantasan
(acceptability), dan (4) adaptabilitas (adaptability).
Sayangnya, kenyataan, seperti biasa, jatuh
agak jauh dari ekspektasi. Pada prakteknya, banyak daerah di Indonesia belum
dapat menyediakan pendidikan bagi warga. Bisa dibilang, negara gagal memenuhi poin
pertama gagasan yang terkutip diatas. Lebih banyak lagi yang gugur di poin
kedua: Di banyak tempat, edukasi hanya tersedia untuk sebagian orang. Jika poin
ketiga ikut kita perhitungkan, maka jelas angka pendidikan yang dapat kita
sebut layak akan turun drastis. Jangankan di pelosok desa terpencil, di
kota-kota besar pun banyak institusi pendidikan tidak mampu menyediakan
pendidikan yang kualitasnya pantas. Terakhir, sistem pendidikan negara kita
yang rigid, kaku, tidak membantu poin
keempat sama sekali. All and all,
perjalanan kita mewujudkan sistem pendidikan yang ideal tampaknya masih
panjang.
Tapi ada yang unik disini. Meski hasil secara
keseluruhan sistem dan hasil pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah –
jika tidak minus – jumlah orang terdidik di Indonesia tidaklah sedikit. Organization for Economic Co-operation
Development (OECD) memproyeksikan jumlah sarjana di Indonesia dapat
mencapai empat persen dari seluruh jumlah sarjana negara-negara G-20 pada tahun
2020. Mungkin ini berkah dari jumlah penduduk yang banyak, sehingga tampaknya secara
kuantitatif jumlah orang pintar di Indonesia tidaklah kurang dari Singapura. Artinya,
masalah utama yang dihadapi pendidikan Indonesia saat ini adalah masalah
pemerataan. Disini, terjadi sebuah ketimpangan akademik: sejumlah besar insan
terdidik, dan sejumlah besar orang yang belum terdidik, hadir ibarat gunung dan
jurang yang berdampingan. Data ini seolah mengatakan bahwa sikap kita adalah every man for himself: “Saya pintar,
Anda tidak dan itu bukan urusan saya.” Agak meleset memang dari asas kekeluargaan dan gotong royong yang kita
banggakan. Siapa yang salah? Mungkin kita perlu mengambil waktu sejenak untuk berefleksi. Apakah kita seapatis ini?
Di atas, saat saya menyebut “.. Bisa dibilang, negara gagal memenuhi ..”, yang saya maksudkan
bukanlah (hanya) pemerintah. Toh, kita juga adalah bagian dari negara. Setiap
orang memiliki kewajiban untuk membantu mengatasi masalah pendidikan. Sungguh,
bersama setiap kepingan ilmu datang satu kepingan tanggung jawab untuk
meneruskannya. Karena itu, berbagilah! Ajarkanlah ilmu yang dimiliki. Seandainya
setiap dari kita bisa berbagi ilmu secara berkala kepada orang lain, maka
kualitas sumber daya manusia kita pun – dengan seizin Allah – akan meroket.
Penekanan untuk berbagi ilmu ini berlaku
untuk semua orang. Tentunya generasi muda, terutama mahasiswa, adalah pihak
yang kontribusinya paling dinanti. Mahasiswa sebaiknya tidak enggan untuk berbagi
ilmu. Perlu dipahami bahwa untuk bisa mengajar, tidak perlu mampu berjalan
diatas air. Tidak perlu kesaktian, tidak perlu kesempurnaan mastery. Yang perlu dibagi tidaklah
lebih dari apa yang dimiliki. Mengajarlah!
Indonesia
tidak kekurangan orang pintar. Kita hanya kurang berbagi.
Bandung, 8 Juni 2016
Akhyar I. Kamili
Akhyar I. Kamili